Penulis: Bunga Nurizka (NPM 29230000001) Mahasiswa Program Studi S1 Hukum Universitas Indonesia Maju
Kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat membawa perubahan besar dalam kehidupan kita, memudahkan hubungan antarnegara, dan mengubah cara hidup sehari-hari. Namun, kemajuan ini juga membawa tantangan, khususnya dalam bentuk kejahatan online seperti penipuan, pencurian identitas, dan terorisme. Kejahatan-kejahatan ini menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat, baik dari segi materi maupun non-materi, serta mengganggu tatanan sosial. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU ITE pada tahun 2008, yang mengatur transaksi elektronik dan cybercrime.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Indonesia pernah menjadi salah satu negara dengan kasus cybercrime tertinggi, namun hanya sedikit kasus yang sampai ke pengadilan, menunjukkan adanya kesenjangan antara laporan dan tindakan hukum. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi pengguna teknologi sangat penting. Sayangnya, hukum sering lebih berfokus pada pelaku, sementara korban yang sebenarnya paling dirugikan sering kali terabaikan. Perlindungan hukum yang memadai sangat diperlukan bagi korban, baik dari segi fisik maupun non-fisik, untuk mengurangi penderitaan dan mencegah kejahatan serupa di masa depan.
Cybercrime merupakan tantangan besar bagi sistem hukum, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari tindakan yang merugikan dan merusak tatanan sosial. Namun, dengan kejahatan siber yang semakin kompleks dan canggih, dibutuhkan peraturan yang jelas, sumber daya manusia yang kompeten, serta fasilitas yang memadai untuk menghadapinya.
Dalam hukum pidana Indonesia, tindak pidana siber dianggap sebagai kejahatan khusus, meskipun unsur-unsurnya bisa mirip dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, tetapi dilakukan dengan cara yang baru sehingga memerlukan pendekatan hukum yang lebih rumit. Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas penegakan hukum sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk menghadapi kejahatan yang muncul melalui internet, DPR RI mengesahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada akhir Maret 2008. UU ini dirancang sejak 1999 untuk menjadi alat hukum yang efektif dalam menangani kejahatan dunia maya. Namun, UU ITE juga menghadapi berbagai masalah, baik dari segi hukum maupun non-hukum, terutama dalam hal pembuktian dan penerapan hukum terkait sistem elektronik.
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib melindungi setiap warganya dari tindakan yang merugikan atau merusak, termasuk dalam konteks penggunaan teknologi. Hukum dan teknologi meskipun berbeda, saling mempengaruhi dan memiliki dampak besar pada kehidupan masyarakat. Pengaturan tentang kejahatan teknologi atau cybercrime di Indonesia bisa dipahami secara luas maupun sempit. Secara luas, cybercrime mencakup semua kejahatan yang menggunakan sistem elektronik, termasuk kejahatan konvensional seperti terorisme dan perdagangan manusia yang menggunakan teknologi sebagai alat. Sedangkan secara sempit, cybercrime diatur secara khusus dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kejahatan selalu ada di setiap masyarakat, dan tidak ada yang kebal terhadapnya. Karena itu, upaya untuk mencegah kejahatan harus dilakukan terus-menerus. Dengan kemajuan teknologi, muncul jenis kejahatan baru, seperti kejahatan dunia maya (cybercrime). Untuk menjaga ketertiban, hukum pidana diperlukan, tetapi dengan teknologi yang berkembang cepat, hukum sering kali tertinggal. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur dua hal utama: transaksi elektronik dan kejahatan dunia maya. UU ini mengikuti prinsip-prinsip hukum internasional dan mencakup perbuatan-perbuatan yang dilarang, seperti yang diatur dalam Pasal 27 hingga Pasal 36.
Dalam proses hukum, pembuktian kejahatan dunia maya harus sesuai dengan aturan yang ada. Bukti bisa berasal dari kesaksian saksi, pendapat ahli, surat-surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa. Namun, karena sifat kejahatan dunia maya yang virtual, bukti sering kali berupa jejak digital seperti email atau data dari komputer. Secara keseluruhan, UU ITE memberikan dasar hukum yang kuat untuk menangani kejahatan di dunia maya, meskipun ada tantangan dalam menggunakan bukti elektronik dalam sistem hukum yang ada.
UU ITE mengelompokkan beberapa jenis tindak pidana sebagai cybercrime, termasuk aktivitas ilegal seperti penyebaran konten ilegal, perjudian, penghinaan, pemerasan, berita bohong, ujaran kebencian berbasis SARA, dan ancaman kekerasan. Selain itu, UU ITE juga mengatur mengenai akses ilegal ke sistem elektronik, intersepsi informasi, serta gangguan terhadap data dan sistem elektronik. Tindakan ini diatur dalam berbagai pasal UU ITE, yang dirancang untuk menanggulangi kejahatan di dunia maya, termasuk memfasilitasi perbuatan ilegal dengan perangkat keras atau lunak komputer, serta pemalsuan informasi atau dokumen elektronik. UU ITE juga mengatur tindak pidana tambahan yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Ancaman hukuman bagi pelaku cybercrime cukup berat, dengan pidana penjara antara 6 hingga 12 tahun dan denda antara 600 juta hingga 12 miliar rupiah. UU ITE juga mengatur ketentuan penyidikan yang mengacu pada Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberikan landasan hukum yang kuat bagi penegak hukum dalam menangani kejahatan dunia maya. Aturan ini diharapkan dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat pengguna teknologi informasi, mengingat kejahatan siber bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja.
Pemerintah Indonesia melindungi korban cybercrime melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini mengatur berbagai hukuman untuk kejahatan yang dilakukan melalui internet dan mengakui bukti elektronik serta tanda tangan digital sebagai bukti sah di pengadilan. Tindak pidana cybercrime diatur secara khusus dalam Bab VII (pasal 27-37) dari UU ITE. Selain itu, korban cybercrime juga dapat meminta bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ada dua pendekatan dalam melindungi korban cybercrime: pertama, pendekatan hak-hak prosedural di mana korban aktif dalam proses hukum, dan kedua, pendekatan pelayanan di mana polisi dan penegak hukum lainnya memberikan pelayanan kepada korban. Perlindungan dan bantuan kepada korban harus diberikan pada semua tahap pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga pasca persidangan.
Referensi
Maya Sri Novita, (2024), Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Regulasi Dalam Penanggulangan Cyber Crime Di Indonesia, Jurnal Krakatau Indonesian Of Multidisciplinary Journals Vol. 2 No. 2 pp: 169-181, https://jurnal.desantapublisher.com/index.php/krakatau/article/view/319.
Dheny Wahyudi, (2013), Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan cyber Crime Di Indonesia, Jurna Ilmu Hukum Jambi, https://www.neliti.com/publications/43295/perlindungan-hukum-terhadap-korban-kejahatan-cyber-crime-di-indonesia.
Amanda Fitria najwa, Aqila Husna, (2024), Efektifitas Yurisdiksi Cybercrime Di Tengah Perkembangan Teknologi Informasi, Jurnal Hukum dan Sosial Politik Vol. 2 No. 3, DOI: https://doi.org/10.59581/jhsp-widyakarya.v2i3.3426.