RS “Putus” dengan BPJS, Benarkah?

(Oleh: Hedy Hardiana)

Masyarakat kembali dikejutkan dengan pemberitaan di lini massa dan media mainstream tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Hal ini lantaran adanya beberapa rumah sakit (RS) yang “putus kontrak” dengan BPJS atau dengan kata lain tidak menjalin kerjasama dengan pihak BPJS karena satu alasan, akreditasi rumah sakit.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) pasal 7 poin b nomor 6, menyebutkan bahwa salah satu persyaratan kerjasama bagi Fasilitas Kesehatan rujukan Tingkat Lanjut (FKTL) untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah memiliki sertifikat akreditasi. Hal ini merupakan syarat yang tidak boleh tidak dipenuhi oleh setiap rumah sakit, karena dalam terminologi hukum kata keharusan pasti memiliki syarat agar dapat dilaksanakan.

Berdasarkan Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit pasal 3 ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa akreditasi dapat dilakukan paling lama 2 tahun setelah mendapatkan ijin operasional (untuk RS baru) dan dilakukan secara berkala paling sedikit 3 tahun sekali. Dan dalam proses pengajuan akreditasi ulang, RS harus melakukannya sebelum masa akreditasi habis (pasal 5 ayat 1 Permenkes 34 Tahun 2017).

Kedua produk hukum tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjamin mutu/ kualitas pelayanan kesehatan. Kementerian Kesehatan yang memiliki kewenangan dalam pengaturan penyelenggaraan upaya kesehatan harus dapat memastikan bahwa tidak ada fasilitas kesehatan yang tidak memenuhi standar pelayanan, apalagi sampai tidak memiliki akreditasi, sebab penjaminan mutu pelayanan kesehatan pastinya akan bermuara pada akreditasi.

Di lain pihak, peran pemerintah daerah sebagai pihak yang menjalankan otonomi, memiliki akses informasi yang besar ke rumah sakit yang diselenggarakan di wilayahnya. Sehingga, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan dapat terbantukan oleh pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) dalam kendali mutu pelayanan kesehatan.

Terkait isu yang membuat seolah-olah RS “putus” dengan BPJS, merupakan isu yang tidak relevan. “Putus” pada konteks ini adalah berhenti sementara kerjasama dengan BPJS sampai pada saatnya persyaratan kerjasama ulang dengan BPJS terpenuhi kembali. Kementerian Kesehatan sudah memberikan surat rekomendasi kepada BPJS terkait berhenti sementaranya 190-an RS tersebut, dan menyatakan bahwa RS masih dapat bekerjasama dengan BPJS dengan syarat mengurus re-akreditas maksimal sebelum bulan Juni 2019. Dengan adanya surat rekomendasi ini, masyarakat tidak perlu panik karena RS tersebut diisukan tidak bekerjasama dengan BPJS. Ada beberapa langkah yang seharusnya dibenahi oleh berbagai pihak. Pertama, seharusnya pihak RS harus memastikan bahwa proses akreditasi ulang tidak boleh melewati batas kadaluwarsa sertifikat akreditasi yang telah didapatkan, karena pastinya RS tahu kapan akreditasi harus dilakukan kembali. Kedua, lembaga akreditasi RS harus memiliki sistem pengawasan terhadap RS yang ada di Indonesia. Sistem tersebut memungkinkan untuk memonitor perkembangan akreditasi seluruh RS. Ketiga, pemerintah daerah harus dapat berkoordinasi cepat dengan pemerintah pusat dalam hal penjaminan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh fasilitas yang ada di wilayahnya.  Keempat, koordinasi yang baik antara Kementerian Kesehatan dan BPJS tentang penjaminan mutu pelayanan kesehatan. Jangan sampai produk kebijakan yang dibuat saling tumpang tindih dan merugikan masyarakat.

About pakem

Leave a Reply

Your email address will not be published.