FENOMENA INDEPENDENT WOMAN: MEMAHAMI PILIHAN HIDUP PEREMPUAN MASA KINI

Di era modern yang semakin inklusif dan penuh dengan kemajuan teknologi, perempuan memiliki lebih banyak ruang untuk mengekspresikan dirinya, termasuk dalam hal memilih hidup secara mandiri. Konsep independent woman atau perempuan mandiri telah menjadi fenomena global yang semakin diakui, terutama di kalangan perempuan muda yang ingin mengukir jalannya sendiri tanpa terlalu terikat pada norma-norma tradisional. Pilihan hidup ini tidak hanya mencerminkan keberanian perempuan dalam menentukan jalan hidupnya tetapi juga mencerminkan perubahan pola pikir masyarakat terhadap peran perempuan.

Menurut Masrun, kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mampu menyelesaikan masalah sendiri (Tagela, 2021:2). Kemampuan ini tidak hanya mencakup pengelolaan keuangan pribadi, tetapi juga kemandirian dalam membuat keputusan hidup, baik dalam aspek profesional maupun pribadi. Namun, menjadi perempuan mandiri tidak berarti tanpa tantangan. Fenomena ini mencakup berbagai aspek, mulai dari tekanan sosial hingga stigma yang masih melekat dalam masyarakat.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan mandiri adalah tekanan sosial dan stereotip gender. Di banyak budaya, termasuk Indonesia, perempuan sering kali diharapkan untuk menikah pada usia tertentu dan memprioritaskan keluarga di atas karier. Tekanan ini menciptakan konflik internal bagi perempuan yang ingin mengejar mimpinya di luar norma tradisional.

Tuntutan pernikahan yang dimiliki oleh kaum perempuan ini merupakan sesuatu yang secara turun – menurun terjadi di lingkungan masyarakat dan tidak bisa dihindarkan (Fachria, 2020). Namun ketika sudah menikah, perempuan akan sulit untuk mencari kerja karena status ‘menikah’ yang dimilikinya, hal ini juga akan berdampak pada tingkat kesejahteraan perempuan.

Meski sudah banyak kemajuan dalam kesetaraan gender, perempuan mandiri masih menghadapi diskriminasi di lingkungan kerja. Perempuan sering kali harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang setara dengan rekan laki-lakinya. Diskriminasi ini tampak jelas dalam kesenjangan gaji, peluang promosi, dan representasi di posisi kepemimpinan.

Dalam data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat perbedaan yang cukup terlihat antara rerata gaji pekerja pria dan wanita. Secara umum perempuan di Indonesia masih menghadapi kesenjangan gaji sebesar 22% dibandingkan laki-laki dalam sektor yang sama (Rainer, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan memiliki keterampilan dan pengalaman yang setara, mereka sering kali dinilai berdasarkan standar yang berbeda.

Perempuan mandiri yang memilih untuk menunda atau bahkan menolak pernikahan juga sering kali menghadapi stigma sosial. Komentar seperti “terlalu pilih-pilih” atau “takut untuk berkomitmen” adalah beberapa bentuk stigma yang umum ditemukan. Stigma ini mencerminkan pandangan masyarakat yang masih terikat pada norma tradisional, meskipun semakin banyak perempuan yang menunjukkan bahwa pilihan hidup yang berbeda juga bisa membawa kebahagiaan dan kesuksesan.

Dari beberapa tantangan yang dihadapi wanita untuk menjadi perempuan mandiri tidak sedikit membuat perempuan mengalami masalah-masalah yang berdampak besar pada kesehatan mentalnya. Masalah ini membutuhkan banyak perhatian dan pengertian dari berbagai pihak terutama dari pihak masyarakat dan keluarga. Ada beberapa solusi yang dapat membantu perempuan menjadi mandiri dan meningkatkan kesehatan mentalnya. Pertama, akses terhadap pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan kerja merupakan langkah pertama yang krusial untuk memberdayakan perempuan. Pendidikan tidak hanya memberikan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di dunia kerja tetapi juga membantu perempuan memahami hak-hak mereka dan membangun kepercayaan diri.

Komunitas yang mendukung perempuan mandiri dapat menjadi tempat berbagi pengalaman dan memberikan dukungan emosional. Misalnya, komunitas perempuan profesional dapat membantu anggotanya menghadapi tekanan sosial dan stigma yang sering kali melekat pada perempuan mandiri.

Pemerintah dan perusahaan perlu menerapkan kebijakan yang lebih ramah gender, seperti cuti kerja yang fleksibel, perlindungan dari diskriminasi, dan akses ke layanan kesehatan mental. Kebijakan ini tidak hanya mendukung perempuan yang ingin hidup mandiri tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif untuk semua karyawan.

Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati pilihan hidup setiap individu adalah langkah penting untuk mengurangi stigma sosial. Kampanye publik, seminar, dan diskusi terbuka dapat membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan mandiri.

Referensi Jurnal

  1. Tagela, Umbu. (2021). Perbedaan Kemandirian Ditinjau dari Jenis Kelamin dan Urutan Kelahiran Siswa SMP. Jurnal Konseling Gusjigang, 7(1): 1-8.
  2. Octaviani, Fachria (2020), “Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Perceraian Di Indonesia,” Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS 2 no 2 : 33–52.
  3. Rainer, Pierre. (2024). Menyikapi Kesenjangan Gaji Pekerja Pria dan Wanita di Indonesia [daring]. Tautan: https://thehappinessindex.com/blog/importance-work-life-balance

Penulis: Syafira Fitri (31220000004)

Mahasiswa Prodi Sarjana Psikologi UIMA

About evan

Leave a Reply

Your email address will not be published.