Di era modern yang penuh dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, masalah kesehatan mental semakin mendapatkan perhatian. Namun, ketika kita membicarakan kesehatan mental, seringkali perspektif gender terlupakan, terutama dalam konteks perempuan. Perempuan, di berbagai belahan dunia, menghadapi serangkaian tantangan mental yang tidak hanya berasal dari tekanan individu, tetapi juga dari struktur sosial yang seringkali membatasi kebebasan mereka. Patriarki, sebagai sistem sosial yang mendominasi peran dan posisi perempuan, berperan penting dalam membentuk pengalaman perempuan terhadap kesehatan mental mereka.
Patriarki adalah sistem sosial yang mengutamakan kekuasaan dan otoritas laki-laki di berbagai aspek kehidupan. Dalam struktur patriarkal, perempuan seringkali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah, baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Beberapa dampak utama patriarki terhadap kesehatan mental perempuan meliputi, Dampak Pertama, Stigma Gender dan Harapan Sosial. Patriarki membentuk norma-norma sosial yang menempatkan perempuan dalam peran-peran tertentu yang sering kali terbatas, seperti sebagai ibu rumah tangga, perawat, atau objek seksual. Ekspektasi-ekspektasi ini menambah tekanan psikologis, terutama bagi perempuan yang merasa harus memenuhi standar yang tidak realistis. Mereka yang gagal memenuhi harapan ini sering mengalami kecemasan, stres, hingga depresi. Hal ini didukung oleh artikel jurnal yang ditulis oleh Mahendra 2017 (dalam Afifah, 2024) bahwa Stereotip gender menciptakan norma bahwa maskulinitas adalah citra yang ideal bagi laki-laki dan feminitas untuk perempuan. Hierarki ini berpengaruh kuat terhadap kesadaran sosial untuk memandu perilaku sesuai dengan jenis kelaminnya. Dampaknya adalah laki-laki sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan Wanita.
Dampak Kedua, Kekerasan Berbasis Gender. Kekerasan fisik dan psikologis yang seringkali dialami oleh perempuan di bawah sistem patriarkal baik dalam rumah tangga maupun di tempat kerja berdampak langsung pada kesehatan mental. Korban kekerasan berisiko tinggi mengalami gangguan mental seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), depresi berat, dan kecemasan kronis. Hal ini didukung oleh artikel jurnal yang ditulis oleh Mutiah (2019) bahwa Sampai hari ini cacatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan setiap 2 jam sekali terdapat 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual dan 60% kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi di dalam ranah domestik korban.
Dampak Ketiga, Diskriminasi dan Ketidaksetaraan. Meskipun dunia telah mengalami kemajuan dalam hal kesetaraan gender, ketidaksetaraan di berbagai sektor terutama ekonomi dan politik masih sangat nyata. Ketika perempuan diperlakukan secara tidak adil, baik dalam hal gaji, promosi pekerjaan, atau pengambilan keputusan, hal ini dapat menyebabkan rasa rendah diri, kecemasan, dan stres jangka panjang, Dijelaskan lebih lanjut oleh Febriyanti & Rahmatunnisa (2021) keberadaan dari patriarki ini menempatkan laki-laki pada posisi yang selalu lebih unggul dibandingkan perempuan, sehingga menguatkan pemikiran akan dominasi laki-laki yang mempengaruhi sempitnya ruang perempuan untuk bergerak dan berkembang
Pembatasan Kebebasan Reproduksi. Dalam banyak budaya patriarkal, perempuan sering kali menghadapi pembatasan dalam pengambilan keputusan terkait tubuh mereka sendiri. Masalah seperti kurangnya akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman dan terjangkau, atau tekanan sosial untuk memiliki anak dalam usia muda, dapat menambah beban mental yang berat bagi perempuan.
Beberapa kendala yang terjadi tidak sedikit membuat perempuan mengalami masalah-masalah yang dampaknya sangat luar biasa beratnya terhadap kesehatan mentalnya. Kondisi ini sejatinya perlu dukungan hebat untuk meminimalisir adanya sistem patriarki ini. Terdapat beberapa solusi yang sekiranya dapat meningkatkan kesehatan mental perempuan meliputi, Solusi Pertama, Pendidikan tentang kesehatan mental. Mengedukasi perempuan tentang pentingnya kesehatan mental dan memberikan informasi tentang bagaimana mencari dukungan dapat membantu mereka lebih sadar akan kebutuhan diri mereka sendiri dan mengurangi rasa malu atau takut untuk meminta bantuan.
Solusi Kedua, Kebijakan yang Mendukung Kesejahteraan Perempuan. Negara dan lembaga kerja perlu membuat kebijakan yang lebih mendukung kesejahteraan perempuan, seperti cuti melahirkan yang memadai, fleksibilitas kerja, dan jaminan akses terhadap layanan kesehatan mental. Azzahwa et al., (2024) menjelaskan bahwa upaya untuk mengurangi kesenjangangender dalam pengambilan keputusan kesehatan reproduksi perlu melibatkan pendekatan yang komprehensif, termasuk pemberdayaan perempuan, edukasi tentang kesehatan reproduksi, serta dukungan dari lingkungan sosial dan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.
Solusi Ketiga, Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi. Memberikan perempuan kesempatan untuk lebih mandiri secara finansial, serta mengurangi ketergantungan mereka pada sistem yang tidak adil, dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan rasa percaya diri. Menurut Wulandari & Rini, (2021) bahwa pemberdayaan perempuan belum benar-benar diterapkanpada perempuan yang tinggal di pedesaan atau daerah terpencil, sehinggabanyakperempuan yang tidak diberdayakan denganbaik. Oleh karena itu,perempuan harusdiberdayakan untukmematahkan stereotip masyarakat.Pada hakekatnyapemberdayaan merupakanupaya untuk menyadarkandan mendorong masyarakat untuk mencapai potensinya secara maksimal.Pemberdayaan masyarakat dapat dicapai olehmasyarakat yang kurang berkembangdengan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan yangdapat berpartisipasidan berpartisipasi dalamproses pemberdayaan dan pembangunansehingga masyarakat tersebut dapat menemukan solusi atas permasalahanyang dihadapinya.
Solusi Keempat, Dukungan komunitas dan terapi. Membangun jaringan dukungan sosial yang kuat, baik dalam keluarga maupun di lingkungan kerja, serta memfasilitasi akses ke terapi psikologis, akan sangat membantu dalam mengatasi masalah kesehatan mental yang dialami perempuan.
Referensi
afifah, N. (2024). Mengkaji Ulang Stereotip Gender: Eksplorasi Stereotip Gender Dalam Konteks Budaya Matrilineal Minangkabau. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 26(1), 93. Https://Doi.Org/10.26623/Jdsb.V26i1.9779
Azzahwa, N., Sitepu, S., & Lestarika, D. P. (2024). Kesenjangan Gender Dalam Pengambilan Keputusan Kesehatan Reproduksi: Dampak Terhadap Kesejahteraan Perempuan. 2(1).
Febriyanti, G. F., & Rahmatunnisa, M. (2021). Ketidakadilan Gender Akibat Stereotip Pada Sistem Patriarki.
Mutiah, R. (2019). Sistem Patriarki Dan Kekerasan Atas Perempuan. Komunitas, 10(1), 58–74. Https://Doi.Org/10.20414/Komunitas.V10i1.1191
Wulandari, A. N., & Rini, N. (2021). Strategi Pemberdayaan Perempuan Berbasis Ekonomi.
Penulis: Dita Septiani (31220000007)
Mahasiswa Prodi Sarjana Psikologi UIMA