KEMAJUAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE DAN KORELASINYA DENGAN HAK CIPTA

Penulis: Anggriani Wau, S.H., M.H (Dosen Program Studi S1 Hukum), Nadia Rohadatul Aisyi, S.H., M.H.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini mempengaruhi kehidupan manusia menjadi lebih cepat dan mudah. Dengan adanya kemajuan teknologi yang sangat cepat, manusia dapat berinteraksi dengan lebih mudah berkat dukungan teknologi-teknologi canggih yang tersedia. Selain berdampak pada interaksi sosial, kemajuan teknologi juga mengubah cara kerja manusia. Yang sebelumnya dilakukan secara manual, kini beralih ke sistem otomatis dan digital. Salah satu faktor utama perubahan pola kerja ini adalah kehadiran kecerdasan buatan, yang lebih dikenal dengan istilah artificial intelligence (AI).

Menurut Poole dan Mackworth dalam jurnal yang ditulis oleh Bagus Gede Ari Rama, AI adalah bidang yang mempelajari cara agen komputer beroperasi secara cerdas. Sementara itu, Kaplan dan Haenlein menjelaskan AI sebagai kemampuan sistem untuk memahami data, belajar dari data tersebut, dan menjalankan tugas dengan cara yang fleksibel. John McCarthy, yang sering disebut sebagai bapak AI, melihat AI sebagai ilmu dan teknik untuk menciptakan mesin cerdas. Sedangkan Minsky berpendapat bahwa AI adalah ilmu yang mempelajari bagaimana membuat komputer melakukan tugas-tugas yang biasanya dikerjakan manusia.

Saat ini, banyak karya yang dihasilkan menggunakan teknologi AI menimbulkan pertanyaan tentang hak cipta. Sebelum membahas hal itu, penting untuk memahami dulu apa itu hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Menurut McKeough dan Stewart, hak kekayaan intelektual adalah sekumpulan hak hukum yang melindungi hak ekonomi dan hak moral atas usaha-usaha kreatif. Sementara itu, Patricia Loughlan menjelaskan bahwa hak cipta adalah bentuk kepemilikan yang memberikan hak eksklusif untuk mengatur pemanfaatan dari suatu karya cipta.

Saat ini, kita bisa melihat banyak karya cipta yang dihasilkan dengan teknologi AI, seperti aplikasi Lensa AI. Dikutip dari CNN Indonesia, Lensa AI adalah aplikasi dari Prisma Labs yang memungkinkan pengguna untuk membuat swafoto dan memprosesnya dengan berbagai gaya, dari yang klasik hingga yang kontroversial, berkat teknologi AI. Kehadiran aplikasi ini memicu kekhawatiran di kalangan seniman. Seperti yang dilaporkan Liputan 6, beberapa pelaku seni merasa khawatir karena aplikasi ini berpotensi digunakan untuk memalsukan atau mencuri karya seni. Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang kini menjadi tantangan baru dalam hak cipta, karena AI dapat menghasilkan karya kreatif yang sulit dibedakan dari karya manusia. Misalnya, aplikasi AI Music LM milik Google yang mampu menciptakan musik tanpa bantuan manusia. Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran terkait perlindungan hak cipta, karena hukum yang ada saat ini mungkin tidak sepenuhnya melindungi karya yang dihasilkan oleh teknologi AI.

Perkembangan AI di luar negeri menunjukkan kemajuan pesat, terutama di Amerika Serikat, Eropa, China, Jepang, dan Korea Selatan, dengan fokus pada inovasi teknologi, regulasi, dan aplikasi industri. Di dalam negeri, Indonesia mulai merintis pengembangan AI melalui strategi nasional, riset di universitas, dan penerapan dalam industri serta startup, meskipun masih tertinggal dari negara maju. Pemerintah, akademisi, dan sektor swasta semakin fokus pada peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mendukung adopsi AI di berbagai sektor. Regulasi AI menjadi fokus utama di banyak negara untuk memastikan pengembangan dan penerapan teknologi ini berjalan secara etis, aman, dan bertanggung jawab. Di Eropa, Uni Eropa memimpin dengan inisiatif regulasi yang ketat melalui AI Act yang bertujuan untuk mengendalikan risiko AI, melindungi privasi data, dan mengatur penggunaan AI dalam sektor-sektor kritis seperti kesehatan dan keamanan. Amerika Serikat juga sedang mempertimbangkan kebijakan regulasi yang lebih komprehensif, meskipun pendekatannya cenderung lebih fleksibel untuk mendorong inovasi. Di Asia, khususnya di China, regulasi AI lebih berfokus pada pengawasan dan kontrol, sejalan dengan ambisi negara tersebut menjadi pemimpin global di bidang AI. Sementara itu, di Indonesia, regulasi AI sedang dalam tahap pengembangan, dengan pemerintah mulai menyusun peta jalan untuk mengatur penggunaan AI secara etis dan sesuai dengan kepentingan nasional, termasuk perlindungan data dan tanggung jawab pengembang teknologi.

UU Hak Cipta (UUHC) di Indonesia mengatur tentang ciptaan sebagai hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan dari inspirasi atau keahlian dan diwujudkan dalam bentuk nyata. Hak cipta ini mencakup hak moral dan hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta atau pihak yang sah. UUHC juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, tata cara gugatan, serta upaya hukum untuk melindungi hak cipta. Selain itu, aturan mengenai penggunaan teknologi dalam hak cipta, seperti penyebaran konten secara non-komersial melalui media digital, juga diatur. Namun, UUHC saat ini belum mengatur tentang penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam menciptakan karya. Meskipun ada ketentuan terkait teknologi informasi, UUHC belum mengakui karya yang dihasilkan oleh AI sebagai karya yang dilindungi oleh hak cipta. Pasal 54 UU Hak Cipta (UUHC) di Indonesia tidak mencakup istilah atau pengaturan terkait kecerdasan buatan (AI), sehingga penting untuk adanya aturan hukum yang memastikan kepastian hukum dalam penggunaan AI untuk menciptakan karya. Meskipun AI tidak dianggap sebagai subjek hukum, AI bisa dikategorikan sebagai objek hukum, khususnya terkait karya yang dihasilkan olehnya. 

Perkembangan teknologi AI, seperti aplikasi Music LM dari Google yang mampu menciptakan musik, menunjukkan perlunya pengaturan yang jelas dalam UUHC. Ini penting mengingat kasus hukum di AS yang melibatkan AI dan hak cipta, seperti tuntutan terhadap Stability Diffusion AI yang dituduh menggunakan karya seniman tanpa izin untuk melatih mesin AI. Kasus-kasus ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi Indonesia untuk memperbarui UUHC agar mencakup pengaturan terkait AI, sehingga dapat mencegah masalah hukum serupa di masa depan. Meskipun undang-undang hak cipta dan penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kecerdasan buatan (AI) belum diakui sebagai subjek hukum, hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Berdasarkan hukum perdata, AI bisa dianggap sebagai pekerja. Dengan menggunakan teori badan hukum, AI mungkin bisa dipandang sebagai badan hukum. Beberapa negara sudah mengakui AI dalam konteks hukum. Misalnya, Inggris menganggap AI sebagai pencipta, meskipun hak cipta diberikan kepada operator AI. Konsep ini mirip dengan yang ada di Amerika Serikat, di mana AI dianggap sebagai karyawan perusahaan.

Jika AI diakui sebagai subjek hukum, maka perlu ada aturan mengenai tanggung jawab hukum untuk karya yang dihasilkan oleh AI. Di Indonesia, doktrin Vicarious Liability bisa digunakan, di mana tanggung jawab pidana jatuh pada pihak yang mengoperasikan AI jika AI melakukan kesalahan. Doktrin ini mirip dengan prinsip respondeat superior, di mana perusahaan bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh pegawainya. Dengan menggunakan konsep Work Made For Hire, AI dianggap sebagai pekerja, dan tanggung jawab hukum untuk AI jatuh pada operator atau perusahaan yang mempekerjakan AI.

Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam UU Hak Cipta Indonesia, AI belum diakui sebagai subjek hukum, sehingga AI tidak bisa dianggap sebagai pencipta. Namun, dengan pesatnya perkembangan AI, penting untuk mengatur hukum terkait AI. Ada potensi besar bagi AI untuk diakui sebagai subjek hukum baru di Indonesia. AI bisa dipandang sebagai badan hukum berdasarkan teori-teori badan hukum dan konsep Work Made For Hire yang diadopsi dari UU Hak Cipta Amerika Serikat. Selain itu, doktrin Vicarious Liability, yang juga berlaku di Indonesia, dapat diterapkan untuk mengatur tanggung jawab pidana terkait AI.

Referensi:

Bagus Gede Ari Rama, Dewa Krisna Prasada, Kadek Julia Mahadewi, (2023), Urgensi Pengaturan Artificial Intelligence (AI) Dalam Bidang Hukum Hak Cipta Di Indonesia, Jurnal Rechtens Vil. 12 No. 2, DOI: https://doi.org/10.56013/rechtens.v12i2.2395

Ari Juliano Gema, (2022), Masalah Penggunaan Ciptaan Sebagai Data Masukan Dalam Pengembangan Artificial Intelligence di Indonesia, Technology and Economics Law Journal Vol. 1, No. 1, DOI: https://doi.org/10.56013/rechtens.v12i2.2395.

Nadia Intan Rahmahafida, Whitney Brigitta Sinaga, (2022), Analisis Problematika Lukisan Ciptaan Artificial Intelligence Menurut Undang-Undang Hak Cipta, Jurnal Pendidikan dan Konseling: Special Issue Vol. 4 No. 6, DOI: https://doi.org/10.31004/jpdk.v4i6.9911.

About sasha

Leave a Reply

Your email address will not be published.