Eksistensi NFT (Non-Fungitable Token) Dalam Perspektif Hak Cipta: Perlindungan Hukum Pemilik Karya Cipta NFT

Penulis: Fahmi Miftah Pratama (Dosen Program Studi Hukum UIMA)

Kemajuan teknologi informasi telah menjadi bagian penting dari era globalisasi, memicu perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Zaman yang semakin kompleks ini ditandai oleh perkembangan teknologi digital, seperti internet, komputer, ponsel, dan media sosial, yang memudahkan akses informasi dan komunikasi. Revolusi digital juga melahirkan inovasi baru seperti NFT (non-fungible token), yang merupakan aset digital yang mewakili benda nyata dan dapat diperdagangkan menggunakan mata uang kripto. Meskipun NFT dan bitcoin sama-sama merupakan aset digital, mereka memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam hal perdagangan dan nilai tukar. Perkembangan NFT juga diperkuat oleh hadirnya Metaverse, dunia virtual di internet, namun menghadirkan tantangan hukum, khususnya dalam hal keaslian dan kepemilikan sebagai hak kekayaan intelektual.

Tantangan hukum utama terkait NFT adalah menjaga keaslian dan kepemilikan dalam dunia digital yang mudah diduplikasi. Keaslian NFT penting untuk menghindari penipuan, seperti duplikasi karya seni yang dijual sebagai NFT ilegal. Konsep kepemilikan dalam konteks digital juga berbeda dengan kepemilikan fisik, sehingga memerlukan perlindungan hukum yang tepat. Teknologi blockchain dapat digunakan untuk otentikasi dan melindungi barang digital, meskipun masih ada kesulitan dalam penetapan harga dan perdagangan aset digital yang tidak diperdagangkan secara publik. Beberapa platform seperti OpenSea dan Rarible menyediakan tempat untuk jual beli NFT, dan langkah-langkah perlindungan hukum sedang dikembangkan untuk mengatasi tantangan ini dan melindungi NFT sebagai hak kekayaan intelektual.

Mengatasi tantangan hukum terkait keaslian NFT penting untuk membentuk kerangka hukum yang efektif dalam melindungi NFT sebagai hak kekayaan intelektual. Keaslian NFT dapat dijamin dengan memperkuat otentikasi melalui teknologi blockchain (Winata & Kansil, 2022), yang menyediakan bukti matematis mengenai keaslian dan integritas aset digital. Regulasi seperti Consumer Protection Against Unfair Trade Practices Act di AS dan General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa mendukung pengakuan teknologi blockchain dalam konteks hukum (Febriyanti, 2024).

Meskipun teknologi blockchain mendukung keaslian NFT, pendaftaran hak kekayaan intelektual (HKI) tetap diperlukan untuk perlindungan hukum yang lebih kuat. HKI memastikan bahwa karya dalam NFT tidak dapat direplikasi sembarangan dan melindungi hak pencipta serta pemegang hak dari eksploitasi. HKI masih dianggap lebih efektif daripada NFT dalam melindungi aset digital.

Pengembangan standar industri untuk NFT penting untuk meningkatkan kepercayaan dan transparansi dalam ekosistemnya. Standar ini harus mencakup prosedur dan protokol untuk memverifikasi keaslian aset digital dan membantu pemilik NFT memilih platform yang aman. Selain itu, penggunaan smart contract, yang merupakan kode komputer yang dieksekusi secara otomatis di blockchain, dapat memperkuat perlindungan kepemilikan NFT dengan mengatur hak cipta dan hak terkait secara jelas dan transparan. Penggunaan smart contract dan standar industri, bersama dengan regulasi hukum yang ada, membentuk landasan penting untuk perlindungan keaslian dan kepemilikan NFT. Dalam hal ini, dasar hukum yang relevan adalah prinsip-prinsip kontraktual yang berlaku di yurisdiksi terkait.

Regulasi terkait keaslian dan perlindungan hak kekayaan intelektual juga dapat menjadi dasar hukum yang relevan untuk menanggapi tantangan hukum terkait keaslian NFT. Sebagai contoh, dalam konteks seni digital, undang-undang hak cipta yang berlaku dapat diterapkan untuk melindungi karya seni digital yang direpresentasikan oleh NFT. Selain itu, ketentuan mengenai hak merek dagang juga dapat menjadi dasar hukum yang relevan untuk melindungi merek dagang yang terkait dengan NFT. Dalam menghadapi potensi gugatan hukum terkait keaslian NFT dan perlindungan kepemilikan sebagai hak kekayaan intelektual, terdapat dasar hukum yang sesuai untuk melindungi NFT. Undang-undang hak cipta memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan perlindungan terhadap karya seni digital yang direpresentasikan oleh NFT. Hal ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menegaskan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak untuk mengumumkan atau membuat salinan karyanya atau memberikan izin untuk itu. Pasal 9 dalam undang-undang yang sama juga menjelaskan hak-hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak, termasuk hak untuk memperbanyak, menyewakan, memperdagangkan, dan menerbitkan karya. Dengan dasar hukum ini, keaslian karya seni digital yang diwakili oleh NFT dapat diakui dan dilindungi secara hukum (Febriyanti, 2024).

Perlindungan NFT juga dapat melibatkan aturan mengenai merek dagang. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis di Indonesia menetapkan bahwa merek yang terdaftar memiliki kekuatan hukum untuk melindungi pemilik dari penggunaan yang tidak sah dalam konteks NFT. Selain itu, regulasi perlindungan konsumen, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, melindungi hak konsumen terkait pembelian NFT, sementara peraturan privasi data seperti GDPR di Uni Eropa melindungi informasi pribadi dalam transaksi NFT. 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan dasar hukum untuk transaksi elektronik yang melibatkan NFT (Winata & Kansil, 2022). Penggunaan hukum yang mencakup hak cipta, merek dagang, perlindungan konsumen, dan privasi data membentuk kerangka hukum yang kuat untuk melindungi keaslian dan kepemilikan NFT. Dengan mengadopsi teknologi blockchain sebagai alat verifikasi, mengembangkan standar industri, dan memanfaatkan smart contract, dapat dibangun perlindungan hukum yang efektif untuk kepemilikan NFT sebagai hak kekayaan intelektual.

Mengatasi tantangan hukum terkait kepemilikan NFT sebagai hak kekayaan intelektual melibatkan beberapa langkah penting. Pertama, keaslian NFT harus dijamin melalui otentikasi yang kuat, dengan teknologi blockchain sebagai alat verifikasi utama. Regulasi yang relevan, seperti undang-undang hak cipta dan peraturan terkait teknologi blockchain, memberikan dasar hukum untuk perlindungan ini. Selain itu, smart contract dapat digunakan untuk mengelola hak-hak terkait NFT secara efektif, berdasarkan prinsip kontraktual yang berlaku, seperti KUH Perdata Indonesia.

Untuk menangani sengketa atau pelanggaran terkait NFT, penting untuk mempertimbangkan mekanisme penyelesaian seperti pengadilan atau arbitrase, dengan merujuk pada undang-undang perlindungan konsumen dan hak kekayaan intelektual yang relevan. Pendekatan holistik yang melibatkan verifikasi yang kuat, penggunaan kontrak pintar, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif diperlukan untuk membangun kerangka hukum yang solid dalam melindungi kepemilikan NFT sebagai hak kekayaan intelektual.

Referensi

Tasya Patricia Winata, Christine S.T. Kansil, (2022), Perlindungan Hukum Terhadap Karya Seni Digital Non-Fungitable Token (NFT) Berdasakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia Vol. 7 No. 12, pp: 18001-180011, DOI: http://dx.doi.org/10.36148/syntax-literate.v7i12.107792548-1398.

Aaron Bryant Korengkeng, (2023), Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Pendaftaran Dan Transaksi Karya Non-Fungitable Token Yang Bukan Oleh Pemilik Hak Cipta, Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance Vol. 3 No. 2, pp: 1556-1578, DOI: 10.53363/bureau.v3i2.265.

Amelia Febriyanti, (2024), Perlindungan Hukum Terhadap Kepemilikan Non-Fungitable Token Sebagai Hak Kekayaan Intelektual, JLEB: Journal of Law Education and Business Vol. 2 No. 1, pp: 403-411, DOI: 10.57235/jleb.v2i1.1743.

Leave a Reply

Your email address will not be published.